Saya adalah dosen di Program Studi Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana. Untuk informasi lebih lanjut mengenai saya, silahkan kunjungi blog guru kecil atau blog Citrus Biosecurity. Matakuliah yang saya asuh adalah:
- Dasar-dasar Perlindungan Tanaman
- Kebijakan Perlindungan Tanaman
- Ilmu Gulma
- Pengendalian Hayati
- Epidemiologi Penyakit Tumbuhan
Sebelumnya sayan menyenangi penelitian kuantitatif dan mengagumi paradigma positivisme atau setidak-tidaknya pasca-positivisme. Saya suka bermain-main dengan angka dan rumus untuk bisa mencari kebenaran yang obyektif. Tetapi kemudian saya merasa sepertinya saya hanya berlindung di balik angka dan rumus, sedangkan kebenaran yang saya hadapi semakin tidak pernah obyektif. Dalam banyak kasus, yang saya temukan justeru kebenaran disub-ordinasi oleh kekuasaan. Kalau pejabat sudah mengatakan A, apa artinya B meskipun B secara signifikan lebih baik daripada A? Sebagaimana yang saya hadapi akhir-akhir ini, meskipun uji PCR (Polymerase Chain Reaction) telah membuktikan bahwa jeruk keprok soe telah positif menderita penyakit CPVD, Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten TTS tetap mengatakan bahwa penyakit tersebut tidak ada. CPVD menjadi penyakit tidak ber-KTP, sebagaimana halnya banyak orang miskin juga tidak mempunyai KTP. Hal ini menghantarkan saya pada paradigma Teori Kritis. Apa itu sebenarnya Teori Kritis?
Selama ini kita melakukan penelitian dengan menggunakan paradigma positivisme. Kita menganggap kebenaran ilmiah adalah obyektif. Kebenaran tidak memihak kepada yang berkuasa maupun yang tertindas, tidak memihak kepada yang kaya maupun yang miskin. Kita mengukur sesuatu dengan menggunakan nilai rerata (means). Sebagai contoh, kalau pendapatan per kapita sebuah negara sudah mencapai sekian US$ maka negara tersebut tidak lagi tergolong negara miskin. Padahal nilai rerata sebenarnya mengelabui, sebab kalau ada beberapa orang yang sangat kaya maka orang sangat kaya tersebut akan mengangkat nilai rerata menjadi tinggi. Kenyataannya orang misakin masih ada di mana-mana. Kalau penelitian dilakukan dengan pendekatan kebenaran obyektif maka yang akan menerima manfaat lebih banyak dapat dipastikan pasti mereka yang lebih berkuasa dan lebih kaya daripada mereka yang tertindas dan miskin. Satu-satunya cara untuk memungkinkan yang tertindas dan yang miskin dapat menerima manfaat adalah penelitian harus dilakukan dengan berpihak kepada mereka. Penelitian harus mampu menyuarakan mereka yang suaranya tidak didengarkan orang. Bagi peneliti dengan pendekatan teori kritis, dikotomi obyektif-subyektif bukan merupakan sesuatu yang alami melainkan diko~struksi secara sosial. Dalam banyak kasus, mereka yang mengaku meneliti secara obyektif justeru sebenarnya paling subyektif karena tanpa disadari yang dilakukannya sebenarnya hanya menguntungkan pihak tertentu.
Saya bergabung dengan Prof. Fred L. Benu menulis mengenai lahan kering dengan paradigma yang saya kemukakan di atas. Apa yang saya tuliskan bukanlah sesuatu yang benar secara obyektif. Dalam menjawab berbagai pertanyaan mengenai lahan kering, saya sadar betul bahwa pandangan obyektif mengenai lahan kering telah menyebabkan para peladang tebas bakar selalu diposisikan sebagai pihak yang salah dan harus dikalahkan. Melalui tulisan-tulisan yang saya tayangkan di sini saya berusaha menggagas pandangan yang berbeda. Bukan berarti bahwa apa yang saya tulis adalah dengan sendirinya benar, melainkan sebagaimana halnya realitas kehidupan, perbedaan seharusnya juga menjadi bagian dari wacana keilmuan. Sebab hanya dengan menghargai perbedaan maka kemajuan dapat diperoleh. Sebab demokrasi sebenarnya bukanlah sekedar telah menyelenggarakan pemilihan umum, melainkan bagaimana para pemimpin yang tampil karenanya dapat menghargai perbedaan.