Wednesday, September 7, 2011

Bagaimanakah Sebaiknya Pendekatan Usahatani Lahan Kering yang Ramah lingkungan?

Fred L. Benu  

Secara umum dapat dipahami bahwa usahatani lahan kering identik dengan usahatani minim unsur hara. Sebenarnya keterbatasan unsur hara sendiri terjadi akibat praktek usahatani yang kurang memperhatikan isu konservasi sumberdaya alam yang telah berlangsung dalam jangka panjang.  Praktek budidaya yang terkait dengan budaya lahan kering seperti tebas bakar, budidaya pada lahan dengan kemiringan diatas 15% yang menyebabkan terkikisnya unsur hara, budidaya yang kurang memperhatikan sistim rotasi tanaman, budidaya yang didominansi oleh tanaman pangan dll. 


Pada satu sisi usahatani lahan kering memerlukan input produksi seperti air, pupuk, pestisida, dan obat-obatan lainnya guna meningkatkan produktivitas dna produksi.  Tapi pada sisi yang lain justru pengunaan  input produksi khususnya input modern seperti pupuk dan pestisida serta obat-obatan yang tidak tepat malah semakin mendorong terjadinya degradasi sumberdaya alam dan lingkungan.  Alasan inilah yang mendorong adanya penggunaan input produksi pada lahan kering yang juga mempertimbangkan konservasi sumberdaya alam dan lingkungan.

Para petani lahan kering biasanya lebih memperhatikan peningkatan produksi lahan kering dalam jangka pendek melalui penggunaan input produksi modern khususnya pupuk dan pestisid.  Tapi penggunaan input produksi modern yang masiv tanpa memperhatikan dampaknya yang destruktif malah semakin menekan degradasi sumberdaya alam dalam jangka panjang.  Sebenarnya ada banyak pendekatan teknologi yang telah digunakan pada berbagai tipe lahan kering yang dapat meningkatkan produksi dalam jangka pendek tapi sekaligus mendorong perbaikan lingkungan dalam jangka panjang.  Sebut saja pendekatan usahatani tanpa pengolahan lahan (no-tillage), usahatani dengan tanaman pelindung yang bersifat permanen (permanen cover crops), sistem rotasi tanaman (crop rotation), dalam jangla pendek semua nya mampu memberikan produksi yang tidak jauh berbeda dengan usahatani konvensional, tapi dalam jangka panjang malah  memberikan dampak produksi yang jauh lebih besar.  Pendekatan ini dikenal dengan konsep pertanian konservasi. Pendekatan konsep ini berupa aplikasi teknologi pertanian modern untuk meningkatkan produksi melindungi dan memperbaiki sumberdaya lahan dimana produksi sangat tergantung pada sumberdaya yang satu ini.Praktek usahatani tanpa pengolahan lahan (zero tillage) bersama dengan juta hektar lahan  praktek konservasi lahan lainnya adalah inti dari konsep pertanian konservasi.  Kurang lebih 47 % dari 95 juta hektar usahatani tanpa pengolahan lahan dipraktekan di Amerika selatan, 35 % di Amerika utara, 9% di Australia dan 3.9 % di Eropa, Asia dan Afrika (Dumanski,at al, 2006).
Pertanian konservasi (concervative Agriculture-CA) adalah pendekatan usahatani yang dapat dipalikasikan pada lahan kering. Pendekatan ini  tidak sebagaimana biasanya pendekatan pertanian lahan kering konvensional yang berorientasi peningkatan produksi dengan jalan mengeksplotasi tanah dan sumberfaya agro-ekosistem. Pertanian konservasi lebih menitik beratkan pada optimalisasi hasil dan keuntungan sekaligus menciptakan keseimbangan antara manfaat pertanian,manfaat  ekonomi dan manfaat lingkungan. Pendekatan ini mengajarkan bahwa kombinasi manfaat sosial-ekonomi dapat diperoleh dari kombinasi produksi dan perlindungan lingkungan, mencakup pengurangan penggunaan input dan pengurangan  biaya tenaga kerja, (Dumanski, et al, 2006). Pertanian konservasi mendorong gangguan minimal terhadap struktur tanah akibat aktivitas pengolahan tanah yang dikenal dengan “zero tillage, juga menawarkan keseimbangan aplikasi input kimiawi, dan mengelola secara tepat seluruh limbah produksi pertanian. Pendekatan ini akan mengurangi polusi air dan lahan, mengurangi erosi tanah, mengurangi ketergantungan pada input eksternal dalam jangka panjang, mendorong upaya pengelolaan lingkungan, meningkatkan kualitas air sekaligus efisiensi penggunaan air, dan mengurangi emisi efek rumah kaca melalui pengurangan  penggunaan bahan bakar fosil.

Beri{ut ini disajikan empat fase peningkatan produksi dan keuntungan usahatani yang menggunakan pendekatan pertanian konservasi sebagaimana dijelaskan oleh FAO (2004):
  • Fase satu adalah memperbaiki teknik pengolahan tanah: selama fase satu ini tidak terjadi peningkatan produksi pertanian, tetapi terjadi penurunan dalam tenaga kerja, waktu dan penggunaan alat dan mesin pertanian  sehingga terjadi penurunn biaya produksi usahatani.  Suatu kenaikan dalam penggunaan unsur kimia khususnya untuk mengontrol gulma mungkin diperlukan dalam fase satu ini. Selanjutnya mungkin ada kenaikan dalam pengeluaran usahatani sebagai kompensasi terhadap pengurangan produksi dalam perbandingan dengan pendekatan usahatani yang konvensional.
  • Fase dua adalah perbaikan struktur dan kesuburan tanah.  Pada fase ini akan terjadi penurunan dalam tenaga kerja, waktu dan penggunaan alat dan mesin pertanian sehingga menurunkan biaya produksi.  Pada fase ini mulai terjadi peningkatan hasil produksi dan sekaligus peningkatan pendapatan usahatani.
  • Fase tiga adalah diversifikasi pola tanam.  Pada fase ini akan terjadi kenaikan hasil dan dengan tren hasil yang lebih stabil.  Jelas fase ini akan  meningkatkan pendapatan usahatani sekaligus akan memperbaiki kesuburan tanah.
  • Fase empat adalah fase dimasa sistem pertanian terintegrasi akan berfungsi secara baik serta terjadi kestrabila produksi dan produktivitas. Manfaat ekonomi dan teknik dari pertanian konservasi semakin dinikmati oleh petani.
Empat Fase Transisi dari penerapan pertanian konservasi. Sumber: FAO, 2004, Conservation of natural resources forsustainable agriculture: training Model, FAO land and Water Digital Media Series CD-ROM 27, FAO, Rome.

Menurut FAO (2007), pertanian konservasi mengajarkan kepada petani berbagai pendekatan praktis usahatani yang memperhatikan kelestariqn lingkunga. Tapi secara umum pendekatan CA memiliki  tiga prinsip yang saling berhubungan satu dengan yang lain  yang dapat diaplikasikan dalam berbagai kombinasi guna memenuhi kebutuhan sumberdaya bagi petani yaitu:

  • Penggunaan secara minimum  mekanisasi yang mengganggu struktur tanah
  • Penutupan tanah secara organik dan bersifat permanen, dan
  • Rotasi dan diversifikasi tanaman antara tanaman semusim maupun tanaman keras

Menurut FAO, pertanian konservasi lebih dari sekedar sistem pertanaman tanpa pengolahan tanah. Pertanian konservasi menghendari petani untuk mengikuti prinsip penggunaan peralatan mekanisasi dengan biaya minimum serta penggunaan varietas tanaman tradisional tanpa herbisida atau bahkan penggunaan varietas tanaman yang toleran terhadap herbisida.

Referensi:
Dumanski, J., Peiretti, R., Benites, J.R., Mcgarry, D., and Pieri, C. (2006). The Paradigm of Conservation Agriculture. Proceedings of World Association of Soil and water Conservation paper No. P1-7
FAO (2007). Conservation Agriculture, conserving Resources above-and below-the ground. Diakses pada tanggal ….. dari: www.fao.org/ag/ca.
FAO (2004). Economic Aspects of Conservation Agriculture. Agriculture and Consumer Protection Department. Diakses dpada tanggal …. Dari: www.fao.org/ag/ca


Pengutipan:
Benu, F.L. (2010) Bagaimanakah Sebaiknya Pendekatan Usahatani Lahan Kering yang Ramah lingkungan? Dialektika Lahan Kering. Diakses pada (isi tanggal, bulan, tahun) dari: www.drylandcare.blogspot.com.




Bila perladangan tebas bakar merupakan pola pertanian lahan kering yang tidak produktif dan merusak lingkungan hidup, mengapa belum juga dapat dihentikan meskipun berbagai upaya telah dilakukan?

I W. Mudita  

Saat berkunjung ke Desa Kaen Baun, Kecamatan Miomafo Timur, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Frans Lebu Raya, meminta petani untuk meninggalkan pola perladangan tebas bakar karena selain tidak produktif juga merusak lingkungan. "Saya melihat masih banyak warga yang menerapkan pola bertani yang keliru itu, sebaiknya ditinggalkan”, pinta Gubernur. Fran Lebu Raya bukanlah gubernur yang pertama kali meminta agar perladangan tebas bakar ditinggalkan, gubernur-gubernur sebelumnya juga sudah melakukan itu. Tetapi kenyataannya, setiap bulan-bulan September-November, bentangan Pegunungan Fatuleu yang pada bulan-bulan sebelumnya tampak dari Kota Kupang kokoh menjulang di seberang teluk, seakan-akan begitu saja lenyap tertutup kabut asap. Tetapi kabut asap tebas bakar musim kemarau bukanlah hanya persoalan Provinsi NTT. Kabut asap tebas bakar dari provinsi-provinsi di Pulau Sumatera dan Kalimantan bahkan telah terekspor ke negara tetangga Malaysia dan Singapura.


Perladangan tebas bakar merupakan persoalan yang sesungguhnya tidak sederhana. Bagi kebanyakan petani subsisten, perladangan tebas bakar adalah harapan untuk bisa bertahan hidup. "Kami harus bekerja seperti ini untuk bisa bertahan hidup. Tebas dan bakar kami lakukan tiap tahun. Sebagai petani di Timor kami sengsara, tapi lebih baik sengsara daripada mati kelaparan," ujar Yosef Kefi, seorang pria ubanan, sebagaimana dikutip dalam artikel Tebas Bakar, Bumi Timor Kian Merana. Ada banyak persoalan lain yang menjadi sebab mengapa petani subsisten sulit dapat diajak beranjak meninggalkan perladangan tebas bakar. Bagi petani subsisten di Timor Barat, dan juga petani-petani subsisten lainnya di berbagai tempat di pelosok Indonesia dan dunia, perladangan tubas bakar sudah menjadi tradisi yang diwarisi dan diwariskan secara turun temurun. Sebagai sebuah tradisi, sebagaimana halnya tradisi-tradisi lainnya, perladangan tebas bakar tentu tidak mudah untuk ditinggalkan, meskipun telah diminta oleh seorang gubernur. Lebih-lebih lagi bila permintaan itu disertai dengan “dakwaan yang dapat mengusik bawah sadar” bahwa perladangan tebas bakar yang adalah sebuah tradisi pemberi kehidupan, justeru dituding sebagai penyebab kerusakan lingkungan hidup.

Perladangan sendiri merupakan terminologi yang dipahami berbeda-beda oleh berbagai pihak. Perladangan merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris shifting cultivation yang berarti kegiatan budidaya tanaman secara berpindah sehingga penambahan kata berpindah pada kata perladangan menjadi rancu. Tidak semua perladangan dilakukan dengan melibatkan api, tetapi karena peranan api sedemikian dominan maka perladangan menjadi identik dengan perladangan tebas bakar (slash-and-burn shifting cultivation). Perladangan tebas bakar disebun swidden cultivation bila yang ditebas dan dibakar adalah hutan belantara lebat sebagaimana yang dilakukan di Sumatera dan Kalimantan. Lebih daripada sekedar istilah, praktik perladangan tebas bakar memang sesungguhnya tidak sama di semua tempat. Ada berbagai tipologi perladangan tebas bakar yang tidak dapat begitu saja diseragamkan untuk didakwa sebagai penyebab kerusakan lingkungan. Menurut Monk et al. (1997), setidak-tidaknya terdapat dua tipe perladangan, yaitu tipe berpindah rotasi dan tipe berpindah sembarang. Pada tipe yang pertama, pembukaan lahan dilakukan dengan mengikuti pola berotasi pada hutan sekunder yang, jauh pada tahun-tahun sebelumnya, telah pernah dibuka sebagai lokasi perladangan. Sebaliknya pada tipe bepindah sembarang, pembukaan lahan dilakukan pada kawasan hutan primer yang pada tahun-tahun sebelumnya tidak pernah dibuka sebagai lokasi perladangan.

Terlepas dari dampak buruk yang ditimbulkan dalam jangka panjang terhadap lingkungan, dalam jangka pendek perladangan tebas bakar memberikan beragam kemudahan, bahkan justeru keuntungan, bagi petani subsisten yang terisolasi bukan hanya secara geografis, tetapi juga secara politik, ekonomi, dan informasi. Bagi petani peladang, sebagaimana telah dibahas oleh Mudita (2000a) dan Wilson & Mudita (2000), tebas bakar merupakan cara yang paling dapat dijangkau untuk membuka lahan dengan cepat, memperoleh abu yang diperlukan dapat menyuburkan tanaman, dan memperoleh cara paling efisien untuk mengendalikan gulma dan organisme pengganggu lainnya. Lebih daripada itu, sebagaimana dikemukakan oleh Ormeling (1955) lebih dari setengah abad yang lalu, sampai kini api yang menyala tinggi dengan percikan bunga api di kegelapan malam masih memberikan hiburan semacam pesta kembang api bagi masyarakat pedalaman yang jarang tersentuh hiburan. Jangankan bagi masyarakat petani di pedalaman, bahkan di kota sebesar Kota Kupang pun masih ada orang membakar padang hanya untuk mendapat beberapa ekor burung puyuh liar yang terparangkap asap dan api.

Ketika berbicara soal dampak buruk perladangan terhadap lingkungan hidup, orang hanya bisa mengambil kesimpulan dengan cara berpikir sangat linier. Orang lupa, bahwa ada banyak hal yang berkaitan erat dengan perladangan tebas bakar dan justeru berkontribusi lebih banyak terhadap dampak buruk yang terjadi. Ambil sebagai contoh pemeliharaan ternak sapi secara lepas di Timor Barat. Ternak sapi lepas tersebut hampir tidak pernah dituding sedemikian gencar sebagai perusak lingkungan sebagaimana halnya perladangan tebas bakar, padahal dalam banyak kasus, pembakaran juga dilakukan untuk memicu dan memacu pertumbuhan rumput (Mudita, 2000b). Padahal, pergerakan gerombolan puluhan ekor sapi tidak hanya menyebabkan berbagai jenis tumbuhan yang seharusnya mengembalikan kawasan perladangan menjadi hutan akan hancur terinjak-injak, melainkan pijakan kaki puluhan ekor sapi menjadikan tanah pada lahan berkelerengan tinggi menjadi mudah tererosi. Tetapi yang kemudian menjadikan sapi tidak dituduh sebagai perusak lingkungan adalah karena sapi menghasilkan uang jauh lebih banyak daripada yang dihasilkan oleh satu hektar jagung dari perladangan tebas bakar. Dan ironisnya, ketika meminta masyarakat untuk berhenti mempraktikkan perladangan tebas bakar, Gubernur NTT justeru berniat menjadikan Provinsi NTT sebagai “gudang ternak”. Memang tidak semua ternak sapi dibiarkan lepas merumput di padang-padang rumput tak bertuan (common access property), tetapi orang-orang yang mampu berpikir jernih pasti tahu, bahwa penyebab terjadinya bencana untuk semua (tragedy of the common) di Timor Barat adalah juga sapi.

Hal yang kurang lebih sama juga terjadi dengan ekspor kabut asap ke negara tetangga Malaysia dan Singapura. Sesungguhnya yang berkontribusi lebih banyak terhadap ekspor kabut asap itu bukanlah petani subsisten, melainkan petani berdasi pemilik konglomerasi perusahaan perkebunan kelapa sawit. Hanya saja, karena petani berdasi semacam itu berpendidikan tinggi dan memiliki uang, maka mereka dengan pintar “memberikan kesempatan kerja” kepada petani subsisten untuk melakukan tebas bakar. Dengan begitu, para petani berdasi itu bukan hanya berjasa mengatasi persoalan pengangguran, tetapi juga menyumbang devisa yang besar kepada negara. Karena para petani berdasi itu berpendidikan tinggi maka mereka pun tidak berhenti hanya sampai di situ, melainkan melobi para pembuat undang-undang supaya sangsi pidana terhadap pembakaran hutan dikenakan hanya kepada mereka yang tertangkap tangan melakukan pembakaran, bukan kepada yang mempekerjakan.

Referensi:
Monk, K.A., de Fretes, Y., & Reksodihardjo-Lilley, G. (1997). The Ecology of Indonesia Series Vol. V: The ecology of Nusa Tenggara and Maluku. Hong Kong: Periplus Editions.
Mudita, I W. 2000a. Fire and the management of agricultural systems in East Nusa Tenggara. In: J. Russell-Smith, G. Hill, S. Djoeroemana, and B. Myers. Pp. 62-64. ACIAR Proc. 91: Fire and Sustainable Agricultural dan Forestry Development in Eastern Indonesia and Northern Australia (ISBN: 1-86320-275-7)
Mudita, I W., 2000b. Pengelolaan api di Kecamatan Aesesa dan Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Makalah dipresentasikan pada Diskusi Pengembangan Program Penelitian Pengelolaan Api Kerjasama ACIAR dan Pemda NTT, diselenggarakan di Kupang pada 7-10 Jun. 2000.
Ormeling, F.J. 1955. The Timor Problem: A geographical interpretation of an underdeveloped island. Djakarta & Groningen: J.B. Wolters.
Wilson, C.G., & Mudita, I W. 2000. Fire and weeds: interactions and management implications. In: J. Russell-Smith, G. Hill, S. Djoeroemana, and B. Myers. Pp. 65-68. ACIAR Proc. 91: Fire and Sustainable Agricultural dan Forestry Development in Eastern Indonesia and Northern Australia (ISBN: 1-86320-275-7)

Pengutipan:
Mudita. I W. (2010) Bila perladangan tebas bakar merupakan pola pertanian lahan kering yang tidak produktif dan merusak lingkungan hidup, mengapa belum juga dapat dihentikan meskipun berbagai upaya telah dilakukan? Dialektika Pertanian Lahan Kering. Diakses pada (isi tanggal, bulan, tahun saat diunduh) dari: http://drylandcare.blogspot.com.




Apakah peningkatan produksi pangan saja dapat menjamin keamanan pangan bagi masyarakat?


Fred L. Benu  

Pada awal 2008, empat negara sub;regional Asean terdiri dari Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia,dan Filipina yang menamakan diri East Asean Growth Area telah membangun komitmen bersama untuk menjadikan kawasan sub regional ini sebagai wilayah produksi pangan yang unggul. Kesepakatan ini dibangun mengingat  wilayah ini memiliki potensinya besar, banyak lahan yang subur, dan memiliki banyak pengetahuan di bidang pertanian.



Indonesia memang memiliki potensi besar dalam kemampuan produksi pangan baik dengan memanfaatkan potensi lahan basah maupun lahan kering untuk memenuhi kebutuhan permintaan pangan domestik maupun kawasan Asia Tenggara. Tapi apakah potensi lahan dengan kemampuan produksi pangan yang memadai ini cukup untuk menjadi penyangga ketahanan pangan penduduk Indonesia yg saat ini berjumlah kurang lebih 237 juta jiwa?

Konsentrasi kebijakan pada subsistem produksi saja tidak menjadi jaminan strategis bagi ketahanan pangan masyarakat Indonesia. Alih-alih memenuhi target pemasok pangan bagai kebutuhan pangan non-domestik.  Untuk memenuhi permintaan pangan penduduk Indonesia saja kita mengalami kesulitan yang tidak kecil.  Bahkan ditengah keberhasilan peningkatan kuantitas produksi pangan dalam dua tahun terakhir saja, kita masih didera dengan masalah kerawanan pangan di sebagian besar wilayah Indonesia, khususnya wilahan yang didominasi oleh lahan kering. Pokok persoalan nya adalah kita kurang memiliki kebijakan yang strategis si sub-sistem distribusi dan konsumsi pangan nasional.  Awalnya kita menduga bahwa dengan menggenjot produksi pangan secara besar-besaran, maka dengan sendirinya masalah kerawanan pangan nasional dapat teratasi.  Memang betul bahwa persoalan kerawanan pangan dimulai dari simpul ketersediaan pangan sehingga pemerintah Indonesia memiliki kebijakan peningkatan produksi pangan.  Tapi masalah kerawanan pangan tidak berhenti pada simpul ketersediaan pangan saja, melainkan terkait erat dengan simpul distribusi dan simpul konsumsi pangan. Oleh karena itu, jika sekian lama kebijakan strategis ketahanan pangan hanya ada pada subsistem produksi, maka saat ini dua sub-sistem lainnya (distribusi dan konsumsi) harus juga menjadi perhatian serius semua pihak.

Krisis ekonomi pernah mendera dunia dengan dua faktor pemicu yaitu masalah keuangan global dan masalah ketersediaan bahan bakar.  Kita boleh memiliki ekspektasi bahwa faktor pemicu krisis ekonomi global berikutnya adalah masalah ketersediaan bahan pangan.  Dan indikasi ke arah itu sudah ada seiring dengan terjadinya fenomena perubahan iklim global yang menyebabkan Amerika dan China mencoba menimbun stok pangan nasionalnya untuk jangka waktu sekitar 10 – 15 tahun.  Berikut Rusia malah menutup keran export gandumnya juga untuk mengantisipasi penurunan stok pangan.  Selanjutnya saat ini Jepang sedang gencar melobi Indonesia melalui Kementrian Pertanian agar bersedia menyiapkan lahan bagi produksi pangan nasionalnya. Semua nya ini indikasi awal bahwa dunia global sudah membaca kemungkinan krisis ekonomi global berikut akan dideterminasi oleh faktor ketersediaan pangan.

Sistem Logistik dan Distribusi Pangan
Kita harus memberikan kritik terhadap kebijakan logistik pangan nasional yang berdimensi jangka pendek dengan penanganan yang bersifat ad hock. Saat sejumlah negara di dunia (Amerika, Rusia dan China) sudah memiliki strategi cadangan stok pangan berjangka panjang (15 - 20 tahun) sebagai bagian dari strategi menghadapi merupahan iklim global, kita masih berkutat dengan persoalan stok pangan musiman.

Perdebatan kita masih terbatas pada kemampuan produksi domestik musimam dan kemampuan Bulog membeli gabah hasil produksi, serta volume impor pangan tahun berjalan. Itupun lebih banyak dalam urusan soal pangan pokok beras. Kita masih berada pada ruang antisipasi cadangan stok pangan nasional sekitar 1.5 Juta ton yang hanya mampu bertahan untuk antisipasi suplai pangan nasional sekitar 8-10 bulan

Cadangan stok pangan jangka pendek seperti ini jelas tidak cukup strategis menghadapi gangguan produksi pangan domestik yang sering mendapat tekanan karena faktor bencana. Keterbatasan kemampuan pengadaan stok pangan berjangka panjang ini terkait dgn  kapasitas Perum Bulog.

Salah satu pilihan strategis untuk mengamankan ketahanan pangan masyarakat adalah kebijakan yang tepat dari sisi logistik dan distribusi pangan. Bahwa kebijakan pangan nasional sekian lama lebih memberikan bobot pada sub-sistem produksi, dan pilihan ini membawa konsekwensi pada resiko kerawanan pangan di sejumlah wilayah Indonesia, sekalipun produksi pangan nasional terus mengalami kenaikan.

Selanjutnya perlu pula dicatat bahwa hampir seluruh komoditi pangan adalah komoditi pemacu inflasi. Tapi kebijakan stabilitas harga pangan lebih ditujukkan bagi beras. Distribusi dan stabilisasi harga sejumlah komoditi pangan lahan kering seperti ubi kayu, ubi jalar, jagung, bahkan kedelai, kacang tanah, kacang hijau, dll, memiliki kecenderungan harga yang bergerak secara bebas dgn pola distribusi yang kurang terpantau dengan baik. Semuanya ini akan berdampak pada rendahnya purchasing power masyarakat Indonesia terhadap pangan.

Kebijakan di sub-sistem distribusi tidak saja bersangkut paut dengan ruang dalam arti distribusi pangan antar wilayah, tapi juga strategi distribusi menurut waktu . Sebagai misal distribusi komoditi pangan pada hari raya keagamaan berbeda menurut wilayah target.  Harus ada perbedaan strategi prioritas distribusi pangan di Bagian Barat dan Timur Indonesia mengikuti perbedaan dominansi penyebaran dan dinamika konsumsi menurut waktu.

Keberhasilan penanganan sub-sistem distribusi pangan nasional juga sangat tergantung pada dukungan infrastruktur dasar, khususnya transportasi, pelabuhan, gudang, sarana bongkar muat peti kemas, dsb. Fasilitas bongkar muat untuk distribusi pangan nasional di pelabuhan terbesar Tanjung Priok saja masih menjadi keluhan banyak pihak, termasuk akses masuk dan keluar yang sangat tidak efisien sehingga mendeterminasi high cost economy. Dan kenaikan biaya ini biasanya akan  ditransfer secara langsung dan sempurna ke tingkat harga pangan di pasar retail. Sebaliknya pembangunan dan perbaikan infrastruktur yang mendeterminasi efisiensi di sub-sistem distribusi tidak akan langsung terefleksi di tingkat harga konsumen.

Kenyataan di atas mengindikasikan tentang kurangnya koordinasi yang integratif antara sub-sistem produksi, sub-sistem logistik dan distribusi, dan sub-sistem konsumsi.  Departemen Pertanian hanya mengurus soal produksi pangan dan kurang koordinasi dgn Bulog sebagi institusi yang memiliki otoritas soal logistik dan distribusi pangan, apalagi tidak ada yang memiliki otoritas dalam urusan soal konsumsi pangan nasional.

Kementerian Pertanian sering melempar tanggung jawab ke Bolog dengan mengatakan bahwa Bulog tidak mampu membeli beras secara maksimal pada saat panen raya. Akibatnya Bulog kurang mampu mengengendalikan harga beras yang terus mengalami kenaikan sekalipun telah dilakukan operasi pasar.  Sebaliknya Bulog berkilah bahwa justru Departemen pertanian yang tidak mampu meningkatkan kualitas gabah produksi petani yang memenuhi standard Impres 7/2009 tentang perberasan.

Kita berharap agar revisi Inpres No. 7/2009 yang mengharuskan Bulog untuk menyerap seluruh gabah produksi petani dan program pengadaan alat pengeringan gabah untuk meningkatkan kwalitas dapat terealisir. Jika Bulog tidak diberdayakan dalam hal fasilitas pengolahan gabah yang bermasalah agar mampu meningkatkan nilai tambah dari sistem distribusi nasional, maka sulit rasanya bagi Bulog untuk menyeimbangkan fungsi pelayanan publik bagi akses pangan masyarakat dengan orientasi bisnis sebagai sebuah Perum.

Selain itu Bulog juga menggunakan pendekatan Operasi Pasar (OP) yang diserahkan kepada pedagang yang memiliki kontrak distribusi.  Pendekatan distribusi seperti ini juga jelas rawan penyimpangan, karena justru persoalan Bulog selama ini ada pada aspek pengawasan. Kita menyadari bahwa terlalu berat tugas yang harus diemban oleh Bulog menyangkut distribusi pangan untuk wilayah Indonesia yang demikian luas. Tugas ini baru bisa efektif dijalankan jika ada kemitraan yang kuat dengan berbagai agen kepentingan lainnya, termasuk swasta pengelola, bahkan birokrat di tingkat bawah beserta masyarakat.

Tapi janganlah kemitraan yang sudah mulai dibangun antara Bulog dengan swasta penyalur ini mengabaikan aspek pengawasan secara efektif dari Bulog sebagai institusi yng memiliki kewenangan dalam urusan pendistribusian pangan. Sejauh catatan kami, sampai saat ini belum terbaca mekanisme standar pengawasan efektif (SOP) yang dijalankan oleh Bulog untuk mengantisipasi persoalan ini.

Rupanya persoalan nya bukan pada otoritas institusi tapi pada birokrat yang diserahi tugas untuk koordinasi dimaksud. Kita jelas memerlukan birokrat yang kuat dan tegas dengan visi yang luas tentang penanganan masalah pangan nasional sehingga mampu menjalankan tugas koordinasi yang lebih efektif. Dan tugas ini ada pada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.

Catatan tambahan lainnya adalah bahwa Bulog tidak dapat dipaksa untu menangani masalah logistik dan distribusi seluruh komoditi pangan bagi masyarakat.  Sangat tidak mungkin Bulog diserahi tugas berat dengan wilayah pelayanan demikian luasnya.  Oleh karena itu pemerintah harus berani menetapkan komoditi pangan apa saja yang dapat diserhakan kepada mekanisme pasar sebagai komoditi komersil, tetapi harus pula berani untuk menetapkan komoditi pangan apa saja (mis. beras dan jagung) yang mekanisme logistik dan distrubusinya diserahkan pada Bulog dengan penekanan pada fungsi pelayanan publik.

Karena alasan keterbatasan pula, maka pemerintah harus berkenan untuk mendorong proses desetralisasi urusan logistik dan distribusi pangan di tingkat daerah. Pemikiran ini muncul karena karakter produksi dan konsumsi pangan di setiap daerah sangat berbeda.  Pangan bagi sebagian besar masyarakat NTT adalah soal jagung.  Demikian pula Maluku adalah soal sagu, dan Papua adalah soal sagu dan ubi, dan produksi sejumlah komoditi  ini lebih banyak mengandalakan potensi lahan kering yang ada .  Persoalan pangan kita jelas berbeda antar daerah, tapi selama ini pendekatan strategis soal pangan bersifat sentralistisi (Jakarta) dan non-diversifikasi (beras).  Dan harus diakui bahwa pendekatan kebijakan seperti ini yang turut menyebabkan terjadinya kelangkaan pangan di daerah baik karena pergeseran pola produksi maupun pola konsumsi ke komoditi tunggal beras.

Referensi:



Pengutipan:
Benu, F.L. (2010) Apakah peningkatan produksi pangan saja dapat menjamin keamanan pangan bagi masyarakat? Dialektika Lahan Kering. Diakses pada (isi tanggal, bulan, tahun) dari: www.drylandcare.blogspot.com.




Mengapa sebagian besar petani lahan kering enggan menggunakan pupuk walaupun disadari bahwa penggunaan input pupuk mampu meningkatkan produktivitas pertanian?

Fred L. Benu  

Input pupuk identik dengan cara budidaya sektor pertanian modern. Pada saat yang sama sebagian besar petani lahan kering masih bercorak usahatani tradisional atau minimal baru mencapai semi modern.  Walaupun anggapan tentang praktek budidaya modern harus berhadapan dengan realitas perilaku tradisional oleh kebanyakan petani lahan kering, namun paradigma prakter budidaya lahan kering saat ini telah sedikit mengalami pergeseran. Sejumlah petani lahan kering telah juga menggunakan input pupuk untuk meningkatkan produktivitas tanaman mereka.  Namun dibanding dengan totalitas petani lahan kering, persentase ini masih sangat kecil.  Kebanyakan para petani masih enggan menggunakan pupuk untuk meningkatkan produktivitas, karena disamping dihadapkan pada sejumlah masalah klasik seperti harga yang tidak terjangkau, kelangkaan suplai, para petani lahan kering juga harus berhadapan dengan kenyataan bahwa produktivitas tanaman yang ingin didorong melalui penggunaan pupuk harus pula berurusan dengan sejumlah input modern lainnya seperti pestisida, insecticida, suplai air yang memadai, dan sebagainya.  Tidak mungkin dapat didorong produktivitas tanaman hanya dengan mengandalkan penggunaan input pupuk dengan mengabaikan input modern lainnya. Semua nya itu berkonsekwensi pada tingginya biaya operasional usahatani.  Pada saat yang sama hampir sebagian besar petani lahan kering menghadap kendala akses terhadap sumber-sumber permodalan. Padahal jika petani lahan kering kita melakukan usahatani secara tradisional, mereka tidak perlu untuk berurusan dengan semua kenyataan di atas yang berkonsekwensi pada tingginya biaya usahatani. Mereka cukup melakukan penanaman bibit/benih lokal tradisional, selanjutnya perkembangan dan produksinya benar-benar diserahkan pada kemurahan alam. Kemurahan kesuburan, kemurahan curah hujan, kemurahan daya tahan terhadap serangan hama penyakit. Tidak ada konsekwensi biaya dalam usahatani, cukup konsekwensi gagal tanam dan/atau gagal panen yang harus dihadapi para petani lahan kering kita.  Dan nampaknya kebanyakan petani lahan kering lebih memilih konsekwensi ke dua seiring dengan terbatasnya akses permodalan, rendahnya pengetahuan teknik budidaya dengan input modern, tidak adanya asuransi usahatani,dan sebagainya.  Pilihan konsekwensi kedua tidak akan memaksakan petani lahan kering untuk berhutang pada siapa pun selain berhutang pada alam.

Inilah kenyataan yang harus dihadapi dalam pembangunan pertanian lahan kering.  Kenyataan dimaksud selalu mengambil bentuk sebagai hambatan pembangunan pertanian lahan kering.  Dan diperlukan peran aktif semua pihak yang berkepantingan dengan pembangunan pertanian, khususnya pemerintah dan petani sendiri guna mendongkrak produksi pertanian lahan kering dan peningkatan tingkat kesejahteraan umum di sektor pertanian lahan kering.

Referensi:



Pengutipan:
Benu, F.L. (2010) Asumsi awal mengatakan bahwa kemiskinan pada daerah dengan tipe pertanian lahan kering disebabkan oleh keterisolasian wilayah. Tapi mengapa setelah dilakukan pembangunan infrastruktur untuk membuka isolasi wilayah termasuk jalan dan moda transportasi, ternyata tidak mampu mendongkrat kinerja pembangunan pertanian lahan kering?? Dialektika Lahan Kering. Diakses pada (isi tanggal, bulan, tahun) dari: www.drylandcare.blogspot.com.




Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites