Fred L. Benu
Pada awal 2008, empat negara sub;regional Asean terdiri dari Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia,dan Filipina yang menamakan diri East Asean Growth Area telah membangun komitmen bersama untuk menjadikan kawasan sub regional ini sebagai wilayah produksi pangan yang unggul. Kesepakatan ini dibangun mengingat wilayah ini memiliki potensinya besar, banyak lahan yang subur, dan memiliki banyak pengetahuan di bidang pertanian.
Indonesia memang memiliki potensi besar dalam kemampuan produksi pangan baik dengan memanfaatkan potensi lahan basah maupun lahan kering untuk memenuhi kebutuhan permintaan pangan domestik maupun kawasan Asia Tenggara. Tapi apakah potensi lahan dengan kemampuan produksi pangan yang memadai ini cukup untuk menjadi penyangga ketahanan pangan penduduk Indonesia yg saat ini berjumlah kurang lebih 237 juta jiwa?
Konsentrasi kebijakan pada subsistem produksi saja tidak menjadi jaminan strategis bagi ketahanan pangan masyarakat Indonesia. Alih-alih memenuhi target pemasok pangan bagai kebutuhan pangan non-domestik. Untuk memenuhi permintaan pangan penduduk Indonesia saja kita mengalami kesulitan yang tidak kecil. Bahkan ditengah keberhasilan peningkatan kuantitas produksi pangan dalam dua tahun terakhir saja, kita masih didera dengan masalah kerawanan pangan di sebagian besar wilayah Indonesia, khususnya wilahan yang didominasi oleh lahan kering. Pokok persoalan nya adalah kita kurang memiliki kebijakan yang strategis si sub-sistem distribusi dan konsumsi pangan nasional. Awalnya kita menduga bahwa dengan menggenjot produksi pangan secara besar-besaran, maka dengan sendirinya masalah kerawanan pangan nasional dapat teratasi. Memang betul bahwa persoalan kerawanan pangan dimulai dari simpul ketersediaan pangan sehingga pemerintah Indonesia memiliki kebijakan peningkatan produksi pangan. Tapi masalah kerawanan pangan tidak berhenti pada simpul ketersediaan pangan saja, melainkan terkait erat dengan simpul distribusi dan simpul konsumsi pangan. Oleh karena itu, jika sekian lama kebijakan strategis ketahanan pangan hanya ada pada subsistem produksi, maka saat ini dua sub-sistem lainnya (distribusi dan konsumsi) harus juga menjadi perhatian serius semua pihak.
Krisis ekonomi pernah mendera dunia dengan dua faktor pemicu yaitu masalah keuangan global dan masalah ketersediaan bahan bakar. Kita boleh memiliki ekspektasi bahwa faktor pemicu krisis ekonomi global berikutnya adalah masalah ketersediaan bahan pangan. Dan indikasi ke arah itu sudah ada seiring dengan terjadinya fenomena perubahan iklim global yang menyebabkan Amerika dan China mencoba menimbun stok pangan nasionalnya untuk jangka waktu sekitar 10 – 15 tahun. Berikut Rusia malah menutup keran export gandumnya juga untuk mengantisipasi penurunan stok pangan. Selanjutnya saat ini Jepang sedang gencar melobi Indonesia melalui Kementrian Pertanian agar bersedia menyiapkan lahan bagi produksi pangan nasionalnya. Semua nya ini indikasi awal bahwa dunia global sudah membaca kemungkinan krisis ekonomi global berikut akan dideterminasi oleh faktor ketersediaan pangan.
Sistem Logistik dan Distribusi Pangan
Kita harus memberikan kritik terhadap kebijakan logistik pangan nasional yang berdimensi jangka pendek dengan penanganan yang bersifat ad hock. Saat sejumlah negara di dunia (Amerika, Rusia dan China) sudah memiliki strategi cadangan stok pangan berjangka panjang (15 - 20 tahun) sebagai bagian dari strategi menghadapi merupahan iklim global, kita masih berkutat dengan persoalan stok pangan musiman.
Perdebatan kita masih terbatas pada kemampuan produksi domestik musimam dan kemampuan Bulog membeli gabah hasil produksi, serta volume impor pangan tahun berjalan. Itupun lebih banyak dalam urusan soal pangan pokok beras. Kita masih berada pada ruang antisipasi cadangan stok pangan nasional sekitar 1.5 Juta ton yang hanya mampu bertahan untuk antisipasi suplai pangan nasional sekitar 8-10 bulan
Cadangan stok pangan jangka pendek seperti ini jelas tidak cukup strategis menghadapi gangguan produksi pangan domestik yang sering mendapat tekanan karena faktor bencana. Keterbatasan kemampuan pengadaan stok pangan berjangka panjang ini terkait dgn kapasitas Perum Bulog.
Salah satu pilihan strategis untuk mengamankan ketahanan pangan masyarakat adalah kebijakan yang tepat dari sisi logistik dan distribusi pangan. Bahwa kebijakan pangan nasional sekian lama lebih memberikan bobot pada sub-sistem produksi, dan pilihan ini membawa konsekwensi pada resiko kerawanan pangan di sejumlah wilayah Indonesia, sekalipun produksi pangan nasional terus mengalami kenaikan.
Selanjutnya perlu pula dicatat bahwa hampir seluruh komoditi pangan adalah komoditi pemacu inflasi. Tapi kebijakan stabilitas harga pangan lebih ditujukkan bagi beras. Distribusi dan stabilisasi harga sejumlah komoditi pangan lahan kering seperti ubi kayu, ubi jalar, jagung, bahkan kedelai, kacang tanah, kacang hijau, dll, memiliki kecenderungan harga yang bergerak secara bebas dgn pola distribusi yang kurang terpantau dengan baik. Semuanya ini akan berdampak pada rendahnya purchasing power masyarakat Indonesia terhadap pangan.
Kebijakan di sub-sistem distribusi tidak saja bersangkut paut dengan ruang dalam arti distribusi pangan antar wilayah, tapi juga strategi distribusi menurut waktu . Sebagai misal distribusi komoditi pangan pada hari raya keagamaan berbeda menurut wilayah target. Harus ada perbedaan strategi prioritas distribusi pangan di Bagian Barat dan Timur Indonesia mengikuti perbedaan dominansi penyebaran dan dinamika konsumsi menurut waktu.
Keberhasilan penanganan sub-sistem distribusi pangan nasional juga sangat tergantung pada dukungan infrastruktur dasar, khususnya transportasi, pelabuhan, gudang, sarana bongkar muat peti kemas, dsb. Fasilitas bongkar muat untuk distribusi pangan nasional di pelabuhan terbesar Tanjung Priok saja masih menjadi keluhan banyak pihak, termasuk akses masuk dan keluar yang sangat tidak efisien sehingga mendeterminasi high cost economy. Dan kenaikan biaya ini biasanya akan ditransfer secara langsung dan sempurna ke tingkat harga pangan di pasar retail. Sebaliknya pembangunan dan perbaikan infrastruktur yang mendeterminasi efisiensi di sub-sistem distribusi tidak akan langsung terefleksi di tingkat harga konsumen.
Kenyataan di atas mengindikasikan tentang kurangnya koordinasi yang integratif antara sub-sistem produksi, sub-sistem logistik dan distribusi, dan sub-sistem konsumsi. Departemen Pertanian hanya mengurus soal produksi pangan dan kurang koordinasi dgn Bulog sebagi institusi yang memiliki otoritas soal logistik dan distribusi pangan, apalagi tidak ada yang memiliki otoritas dalam urusan soal konsumsi pangan nasional.
Kementerian Pertanian sering melempar tanggung jawab ke Bolog dengan mengatakan bahwa Bulog tidak mampu membeli beras secara maksimal pada saat panen raya. Akibatnya Bulog kurang mampu mengengendalikan harga beras yang terus mengalami kenaikan sekalipun telah dilakukan operasi pasar. Sebaliknya Bulog berkilah bahwa justru Departemen pertanian yang tidak mampu meningkatkan kualitas gabah produksi petani yang memenuhi standard Impres 7/2009 tentang perberasan.
Kita berharap agar revisi Inpres No. 7/2009 yang mengharuskan Bulog untuk menyerap seluruh gabah produksi petani dan program pengadaan alat pengeringan gabah untuk meningkatkan kwalitas dapat terealisir. Jika Bulog tidak diberdayakan dalam hal fasilitas pengolahan gabah yang bermasalah agar mampu meningkatkan nilai tambah dari sistem distribusi nasional, maka sulit rasanya bagi Bulog untuk menyeimbangkan fungsi pelayanan publik bagi akses pangan masyarakat dengan orientasi bisnis sebagai sebuah Perum.
Selain itu Bulog juga menggunakan pendekatan Operasi Pasar (OP) yang diserahkan kepada pedagang yang memiliki kontrak distribusi. Pendekatan distribusi seperti ini juga jelas rawan penyimpangan, karena justru persoalan Bulog selama ini ada pada aspek pengawasan. Kita menyadari bahwa terlalu berat tugas yang harus diemban oleh Bulog menyangkut distribusi pangan untuk wilayah Indonesia yang demikian luas. Tugas ini baru bisa efektif dijalankan jika ada kemitraan yang kuat dengan berbagai agen kepentingan lainnya, termasuk swasta pengelola, bahkan birokrat di tingkat bawah beserta masyarakat.
Tapi janganlah kemitraan yang sudah mulai dibangun antara Bulog dengan swasta penyalur ini mengabaikan aspek pengawasan secara efektif dari Bulog sebagai institusi yng memiliki kewenangan dalam urusan pendistribusian pangan. Sejauh catatan kami, sampai saat ini belum terbaca mekanisme standar pengawasan efektif (SOP) yang dijalankan oleh Bulog untuk mengantisipasi persoalan ini.
Rupanya persoalan nya bukan pada otoritas institusi tapi pada birokrat yang diserahi tugas untuk koordinasi dimaksud. Kita jelas memerlukan birokrat yang kuat dan tegas dengan visi yang luas tentang penanganan masalah pangan nasional sehingga mampu menjalankan tugas koordinasi yang lebih efektif. Dan tugas ini ada pada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Catatan tambahan lainnya adalah bahwa Bulog tidak dapat dipaksa untu menangani masalah logistik dan distribusi seluruh komoditi pangan bagi masyarakat. Sangat tidak mungkin Bulog diserahi tugas berat dengan wilayah pelayanan demikian luasnya. Oleh karena itu pemerintah harus berani menetapkan komoditi pangan apa saja yang dapat diserhakan kepada mekanisme pasar sebagai komoditi komersil, tetapi harus pula berani untuk menetapkan komoditi pangan apa saja (mis. beras dan jagung) yang mekanisme logistik dan distrubusinya diserahkan pada Bulog dengan penekanan pada fungsi pelayanan publik.
Karena alasan keterbatasan pula, maka pemerintah harus berkenan untuk mendorong proses desetralisasi urusan logistik dan distribusi pangan di tingkat daerah. Pemikiran ini muncul karena karakter produksi dan konsumsi pangan di setiap daerah sangat berbeda. Pangan bagi sebagian besar masyarakat NTT adalah soal jagung. Demikian pula Maluku adalah soal sagu, dan Papua adalah soal sagu dan ubi, dan produksi sejumlah komoditi ini lebih banyak mengandalakan potensi lahan kering yang ada . Persoalan pangan kita jelas berbeda antar daerah, tapi selama ini pendekatan strategis soal pangan bersifat sentralistisi (Jakarta) dan non-diversifikasi (beras). Dan harus diakui bahwa pendekatan kebijakan seperti ini yang turut menyebabkan terjadinya kelangkaan pangan di daerah baik karena pergeseran pola produksi maupun pola konsumsi ke komoditi tunggal beras.
Referensi:
Pengutipan:
Benu, F.L. (2010) Apakah peningkatan produksi pangan saja dapat menjamin keamanan pangan bagi masyarakat? Dialektika Lahan Kering. Diakses pada (isi tanggal, bulan, tahun) dari: www.drylandcare.blogspot.com.
; 0 komentar:
Post a Comment
Silahkan memberikan komnetar maupun masukan untuk memperbaiki tayangan blog ini pada waktu-waktu mendatang