Pertanian lahan kering kini merupakan istilah yang sudah sangat umum digunakan, tetapi sebenarnya apakah pertanian lahan kering itu? Dengan merujuk kepada Roy & Arora (1973), Nelson & Nelson (1973), Moore (1977), Billy (1981) dan Landon (1984), Prof. Fred Benu (dalam blog ini) telah mengupas usahatani lahan kering (dryland farming) dari sisi faktor kekurangtersediaan air dan faktor kekurangtersediaan prasarana pengairan:
Sebenarnya istilah dryland farming lebih merujuk pada tipologi daerah dengan ciri iklim tertentu. Jelasnya dryland farming mencakup usaha budidaya di daerah beriklim semi ringkai (semi arid) sampai daerah beriklim ringkat (arid). Sedangkan istilah “unirrigated land” lebih ditujukan pada usaha budidaya pertanaman pada daerah dengan suplai air terbatas karena tidak memiliki jaringan irigasi.
Dari kutipan di atas tampak bahwa usahatani lahan kering diberikan pengertian yang sama dengan pertanian lahan kering. Apakah memang demikian?
Kedua istilah tersebut, usahatani lahan kering dan pertanian lahan kering, sama dalam hal sama-sama berkaitan dengan lahan kering. Mengutip United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD), World Resources Institute mendefinisikan lahan kering dalam kaitan dengan zona keringkaian (aridity zone). Zona keringkaian ditentukan berdasarkan nisbah (ratio) rerata presipitasi tahunan terhadap evapotranspirasi potensial tahunan. Presipitasi dapat berupa hujan, embun, atau salju. Evapotranspirasi potensial tahunan merupakan jumlah lengas yang, bila tersedia, akan hilang dari satu luasan lahan tertentu karena evaporasi dan transpirasi. Dengan menggunakan nisbah tersebut, dunia dipilah ke dalam enam zona keringkaian, yaitu ringkai berlebihan (hyper-arid), ringkai (arid), semi-ringkai (semi-arid), sub-lembab kering (dry sub-humid), lembab (humid), dan dingin (cold). Lahan kering, sebagaimana didefinisikan oleh World Resources Institute, mencakup lahan pada zona keringkaian yang berkisar dari zona ringkai sampai zona sub-lembab kering dengan kisaran nisbah 0,05–0,65 yang luasnya diperkirakan mencapai 53.558.000 km2. Wilayah dengan nisbah <0,05 termasuk zona ringkai berlebihan, dengan nisbah >0,65 termasuk zona lembab.
Lantas bagaimana dengan aspek ketersediaan prasarana pengairan? Lahan kering merupakan konsep yang bersifat makro, dalam hal ini berskala dunia. Dalam konteks global tersebut, aspek prasarana pengairan bersifat sangat mikro. Oleh karena itu, pengertian lahan kering ditinjau dari ketersediaan prasarana pengairan menjadi kurang relevan. Demikian juga dengan pengertian lahan kering sebagai lahan yang tidak tergenang air sepanjang tahun, juga menjadi kurang relevan karena dalam konteks budidaya pertanian genangan air dimungkinkan hanya dengan ketersediaan parasarana irigasi. Prasarana irigasi dibangun untuk dengan berbagai persyaratan sehingga memerlukan studi kelayakan. Dalam studi kelayakan tersebut termasuk studi kelayakan usahatani.
Lalu, apakah usahatani sama dengan pertanian sehingga usahatani lahan kering tidak perlu dibedakan dari pertanian lahan kering? Menurut Hargreaves (1957), usahatani lahan kering merupakan pertanian tanpa pengairan di wilayah yang presipitasinya kurang. Pada pihak lain, Oram (1980) secara eksplisit membedakan pertanian lahan kering dari usahatani lahan kering sebagaimana dimaksudkan oleh Hargreaves (1957) tersebut. Menurut Oram (1980), pertanian lahan kering merupakan kegiatan budidaya tanaman yang dilakukan dalam kondisi tekanan kekeringan sedang sampai berat selama sebagian besar masa tanam, sehingga memerlukan teknik-teknik budidaya khusus, jenis tanaman tertentu, dan sistem usahatani tertentu untuk memungkinkan produksi dapat dilakukan secara berkelanjutan. Dalam pengertian pertanian lahan kering yang diberikan oleh Oram (1980) jelas tersirat bahwa pertanian lahan kering lebih daripada sekedar usahatani lahan kering. Dengan kata lain, usahatani lahan kering (dryland farming) dapat dilakukan di wilayah lahan kering (dryland) maupun di wilayah lembab (humid). Tidak demikian dengan pertanian lahan kering, yang semata-mata merupakan cara hidup dengan mengolah lahan di wilayah dalam zona ringkai (arid) sampai sub-lembab kering (dry sub-humid).
Usahatani lahan kering sebagai sub-sistem dari pertanian lahan kering akan menjadi lebih mudah dipahami bila pengertian usahatani sendiri dipahami terlebih dahulu. Terdapat banyak definisi usahatani, di antaranya adalah produksi tanaman dan/atau ternak secara menguntungkan (profitable production of crops and animals). Yang menjadi kata kunci dalam pengertian usahatani adalah produksi secara menguntungkan, yang berarti bahwa usahatani dilakukan dengan memperhitungkan untung rugi. Dalam hal ini untung rugi tidak selalu harus berarti uang, melainkan mempunyai dimensi yang jauh lebih luas. Dari istilah usahatani yang dalam bahasa Inggris disebut farming muncul istilah petani yang dalam bahasa Inggris disebut farmer. Selain kata farmer, dalam bahasa Inggris juga dikenal istilah peasant, yang terjemahan bahasa Indonesianya masih belum dibakukan. Untuk memberikan pengertian yang tepat mengenai istilah peasant, Sofjan Sjaf, seorang sosiolog dari IPB, mengulas istilah tersebut dengan menggunakan pendekatan ideologi, geografis, ekonomi, dan sosial kebudayaan.
Pertanian melibatkan bukan hanya farmer (petani) tetapi juga peasant (petani subsisten). Dengan demikian maka usahatani lahan kering menjadi mempunyai pengertian yang tidak sama dengan pertanian lahan kering. Melalui usahatani lahan kering petani membudidayakan tanaman dan memelihara ternak untuk memperoleh produksi yang menguntungkan. Dalam pertanian lahan kering juga terdapat usahatani lahan kering, tetapi tidak berhenti sampai di situ. Di dalam pertanian lahan kering terdapat petani subsisten (peasant) yang melakukan budidaya tanaman dan ternak tanpa mempertimbangkan untung rugi. Kalau saja mempertimbangkan untung rugi, petani (peasant) di Pulau Timor tidak akan mungkin akan membakar begitu saja pohon kayu merah (Pterocarpus indicus) sekedar untuk membuka lahan untuk menanam jagung. Harga satu kubik kayu merah lebih dari Rp 2 juta, sedangkan produksi jagung dari lahan 1 hektar, bila dijual, nilainya tidak akan lebih dari harga 1 kubik kayu merah. Maka dari itu, Made Tusan Surayasa, seorang dosen Fakultas Pertanian Undana, mengomentari, “bagi petani lahan kering Timor, jagung adalah segalanya”.
Pembedaan pengertian pertanian lahan kering dari usahatani lahan kering akan memudahkan memahami banyak persoalan yang berkaitan dengan kedua istilah tersebut. Banyak pertanyaan seputar lahan kering yang telah dijawab oleh Prof Fred L. Benu akan menjadi lebih mudah dipahami bila dijawab dengan menggunakan pembedaan tersebut. Pertanyaan sederhana seputar pertanian lahan kering, akan dicoba dijawab dalam perspektif perbedaan antara pertanian lahan kering dan usahatani lahan kering, perbedaan antara petani subsisten (peasant) dan petani (farmer), perbedaan dalam dimensi politik, geografis, ekonomi, dan sosial budaya. Dengan memahami perbedaan ini juga diharapkan tidak lagi ada yang mengacaukan pengertian kekeringan dalam konteks lahan (dryland) dan kekeringan dalam konteks bencana (drought) sebagaimana diuraikan melalui tulisan oleh Mudita (dalam blog ini).
Referensi:
World Resources Institute (2010). Definition of drylands. Diakses pada 22 Oktober 2010 dari: http://archive.wri.org/newsroom/wrifeatures_text.cfm?ContentID=722.
Sjaf, S. (2010) Batasan Definisi Petani (Peasent). Sofyan Sjaf Online: Ilmu untuk Memuliakan Orang Kecil. Diakses pada 22 Oktober 2010.dari: http://sofyansjaf.staff.ipb. ac.id/2010/06/13/batasan-definisi-petani-peasent/
Pengutipan:
Mudita, I W. (2010). Apakah usahatani lahan kering sama dengan pertanian lahan kering dan mengapa keduanya perlu dibedakan? Dialektika Pertanian Lahan Kering. Diakses pada (tulis tanggal, bulan, tahun)dari: http://drylancare.blogspot.com.
; 0 komentar:
Post a Comment
Silahkan memberikan komnetar maupun masukan untuk memperbaiki tayangan blog ini pada waktu-waktu mendatang