Fred L. Benu
Transportasi merupakan salah satu mata rantai jaringan distribusi barang dan mobilitas penumpang yang berkembang sangat dinamis, serta berperan dalam mendukung, mendorong dan menunjang pembangunan (politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan). Pada saat yang sama bidang infrastruktur transportasi masih banyak bersifat non cost recovery yang harus menjadi tanggung jawab pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Pengalaman pembangunan pertanian lahan kering yang didorong oleh ketersediaan infrastruktur untuk membuka isolasi wilayah dapat diikuti dari telahan pembangunan pertanian Bali, NTB dan NTT yang memiliki potensi lahan kering yang cukup luas. Saat masih menjadi satu kesatuan wilayah administratif Provinsi Sunda Kecil, ketiga wilayah memiliki infrastruktur jalan dan akses transportasi serta kondisi perekonomian wilayah yang relatif sama. Ketimpangan pembangunan ekonomi ketiga wilayah mulai muncul seiring dengan dibubarkannya Provinsi Sunda Kecil atas prakarsa NTT pada tanggal 11 September 1958 dengan UU no.64 Thn 1958 (Ben Mboi, Pers. Com, 2008).
Perekonomian Bali tumbuh melejit sendiry meninggalkan dua saudaranya. Data BPS (2007) menyebutkan bahwa pendapatan perkapita Bali saat ini mencapai Rp.11.18 juta/thn atau kurang lebih sama dengan rerata pendapatan perkapita nasional. Pada saat yang sama NTB memiliki pendapatan perkapita sekitar Rp.7.3 juta/thn sedangkan NTT terpuruk pada angka Rp. 3.8 Juta/thn.
Cerita tentang efek Triple-T Revolution (Kontjoro jakti, 2004) yang mendeterminasi dinamika pembangunan suatu wilayah sangat jelas terjadi di Bali, khususnya transportasi dan travel yang sangat mempengaruhi keberhasilan pengembangan sektor pariwisata sebagai andalan perekonomian daerah. Secara relatif kita boleh katakan bahwa dibanding dua wilayah lainnya, Bali sangat jauh meninggalkan NTB apalagi NTT dalam hal pengembangan sektor pariwisata sebagai andalan perekonomian daerah, bahkan mampu bersaing dengan negara-negara maju lainnya.
Walaupun pemicu pengembangan sektor pariwisata Bali sejatinya bukan disebabkan oleh telekomunikasi, transportasi dan travel (3-T), tetapi dalam perkembangan sektor pariwisata Bali yang dipicu oleh konstruksi budaya lokal, mendapat penguatan akselerasi (pemacu) dari kemajuan dan perkembangan 3-T yang sangat pesat, khususnya T-transportasi.
Mengapa saya berani katakan bahwa ketiga faktor-T dimaksud bukan sebagai pemicu perkembangan perekonomian Bali melalui sektor pariwisata daerahnya? Karena pada awalnya ketiga wilayah ini memiliki akses infrastruktur transportasi yang relatif tidak jauh berbeda saat ketiganya masih tergabung dalam satu Provinsi Sunda Kecil. Tapi setelah ketiganya dipisahkan ke dalam tiga wilayah administratif (1958), maka secara tidak sengaja Bali memilih pengembangan sektor pariwisata sebagai basis pengembangan perekonomian daerahnya dengan mengandalkan daya dorong kebudayaan daerah ditunjang oleh pesona alamnya. Dan ternyata pilihan Bali saat itu tidak salah, terbukti dari kemajuan ekonomi Bali yang melampaui kinerja pembangunan ekonomi kedua daerah lainnya bahkan melampaui daerah lainnya di Indonesia.
NTB dan NTT bukannya sama sekali tidak melirik atau tidak memiliki ekspektasi tentang kekuatan daya dorong sektor pariwisata daerah. Tapi nampaknya pengembangan sektor pariwisata daerah tidak bersinergi secara konstruktif dengan pengembangan infrastruktur dasar khususnya transportasi di kedua wilayah ini. Atau minimal pengembangan infrastruktur transportasi, lambat mengalami integrasi yang kuat dengan pengembangan sektor pariwisata daerah seperti yang terjadi di NTB. Atau pengembangan infrastruktur dimaksud yang lebih diarahkan untuk diintegrasikan dengan pengembangan sektor non-pariwisata, khususnya sektor pertanian lahan kering seperti yang terjadi di NTT.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pilihan pengembangan infrastruktur transportasi yang diitegrasikan secara kuat dengan sektor pertanian daerah. Pilihan seperti itu memang sesuai dengan kenyataan basis ekonomi masing-masing daerah. Persoalannya adalah pembangunan infrastruktur dasar kurang bersinergi secara kuat dengan sektor pertanian itu sendiri, karena konstruksi sosial budaya masyarakat tani yang kurang akomodatif terhadap tuntutan perubahan.
Sebagai contoh, pada dekade 1970an sampai 1980an, keterisolasian wilayah menjadi faktor penyebab kemiskinan, khususnya di NTT. Oleh karena itu pada periode 1978 -1988, pemerintah melakukan investasi publik besar-besaran dengan pembangunan jalan dan pelabuhan sebagai upaya kuat membuka keterisolasian wilayah NTT yang terkenal cukup extrim baik dalam hal topografi maupun geologinya.
Sejumlah besar daerah terpencil di buka untuk akses masyarakat terhadap dinamika pembangunan ekonomi maupun sosial. Walaupun pemerintah telah mengeluarkan anggaran pembangunan yang cukup besar bagi investasi publik di sektor infrastruktur transportasi, tapi pengamqtan empirik menunjukkan bahwa hal tersebut tidak sebanding dengan nilai tambah ekonomi yang seharusnya dinikmati oleh masyarfakat perdesaan dalam bentuk peningkatan kesejahteraan. Justru yang terjadi adalah eksploitasi sektor ekonomi perkotaan terhadap perekonomian desa melalui ekspansi pasar produk-produk perkotaan dan memicu perilaku konsumtif masyarakat perdesaan.
Seharusnya pembukaan isolasi wilayah melalui pembangunan infrstruktur transportasi dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh masyarakat tani perdesaan untuk akses pasar input sarana produksi dan terutama pemasaran produk pertanian lahan kering. Pada prinsipnya memang pembangunan infrastruktur transportasi telah memperlancar arus input sarana produksi dan pemasaran hasil pertanian, tetapi daya ekspansi dimaksud masih terlalu kecil dibanding ekspansi sektor perkotaan. Sehingga secara marginal sebenarnya desa dengan sektor ekonominya justru mengalami kooptasi oleh sektor ekonomi perkotaan. Fenomena ini disebabkan oleh karena masyarakat perdesaan khususnya di sektor pertanian lahan kering kurang siap menghadapi keterbukaan ekonomi wilayah melalui pembangunan infrastruktur jalan dan akses transportasi yang berkonsekwensi pada tingginya persaingan pasar.
Pembangunan infrastruktur jalan dan akses transportasi memang merupakan syarat harus (the first order condition) bagi dinamika ekonomi melalui pembangunan sektor pertanian suatu wilayah. Tapi pendekatan kebijakan ini saja tidaklah cukup. Masih diperlukan syarat cukup (the second order condition) berupa kebijakan penguatan sumberdaya manusia beserta potensi sumberdaya lahan kering yang dimiliki untuk siap menghadapi keterbukaan pasar dan persaingan yang tinggi. Konsistensi pendekatan seperti ini yang kurang dilakukan oleh pemerintah beserta seluruh pemangku kepentingan lainnya dalam mengkonstruksi suatu tatanan sosial-ekonomi masyarakat yang akomodatif terhadap tuntutan perubahan.
Berbeda halnya dengan Bali yang memilih sektor pariwisata daerah sebagai lokomotif pengembangan ekonominya. Tatanan sosial budaya masyarakat Bali dan potensi sumberdaya alamnya memang sangat akomodatif terhadap pengembangan sektor ini. Dengan kedua faktor pemicu ini, maka pembangunan infrastruktur dan sarana transportasi di Bali tinggal berintegrasi secara konstruktif untuk memacu pengembangan sektor pariwisata daerah sebagai basis pengembangan ekonomi wilayah dan kesejahteraan masyarakat nya.
NTB memiliki cerita tersendiri. Semula NTB memilih pengembangan infrastruktur pertanian untuk pengembangan ekonomi wilayahnya. Namun sebagaimana ceritanya di NTT, sektor pertanian perdesaan, khususnya pertanian lahan kering juga tidak berkinerja cukup baik untuk mendongkrak perekonomian wilayahnya. Menyadari kenyataan ini NTB saat ini cenderung memacu pengembangan ekonomi wilayah melalui sektor pariwisatanya. Memang kelihatannya terlambat, tetapi minimal infrastruktur dan sarana transportasi NTB sudah dikembangkan untuk mendukung pengembangan sektor pariwisata daerah, khususnya NTB bagian Barat. Kebetulan wilayahnya yang berbatasan langsung dengan Bali dan sebagian tatanan sosial-budaya masyarakat NTB bagian Barat mendapat pengaruh kuat budaya Bali, menyebabkan daerah ini sangat dimungkinkan untuk mendapat imbas positif dinamika pengembangan sektor pariwisata Bali. Sebaliknya NTT sampai saat ini masih belum nampak strategi khusus pengembangan infrastruktur dasar yang dihubungkan secara kuat dengan sektor ekonomi basis yang telah mendapat penguatan di daerah.
Referensi:
Pengutipan:
Benu, F.L. (2010) Asumsi awal mengatakan bahwa kemiskinan pada daerah dengan tipe pertanian lahan kering disebabkan oleh keterisolasian wilayah. Tapi mengapa setelah dilakukan pembangunan infrastruktur untuk membuka isolasi wilayah termasuk jalan dan moda transportasi, ternyata tidak mampu mendongkrat kinerja pembangunan pertanian lahan kering?? Dialektika Lahan Kering. Diakses pada (isi tanggal, bulan, tahun) dari: www.drylandcare.blogspot.com.
; 0 komentar:
Post a Comment
Silahkan memberikan komnetar maupun masukan untuk memperbaiki tayangan blog ini pada waktu-waktu mendatang