Fred L. Benu
Data publikasi BPS menunjukkan bahwa sektor primer pertanian mengalami pertumbuhan dengan laju yang konstant, bahkan berkecenderungan menurun dari tahun ke tahun. Hasil analisis produktivitas tenaga kerja yang diukur dari rasio PDRB sektor (harga konstant 1993) dengan jumlah tenaga kerja pada sektor yang bersangkutan menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian di bawah Rp. 1 juta, sedangkan produktivitas tenaga kerja di sektor pertambangan hampir mencapai Rp.5 juta, dan sektor jasa-jasa kemasyarakatan hampir mencapai Rp. 8 juta. Jumlah daya tampung sektor pertanian juga cenderung semakin menurun dari tahun ke tahun.
Deskripsi data di atas secara keseluruhan menunjukkan bahwa kinerja sektor pertanian saat ini sudah semakin menurun. Dapat dikatakan bahwa jumlah rupiah yang digunakan sebagai input di sektor ini akan menghasilkan nilai tambah dengan margin kenaikan yang semakin lama semakin menurun. Sektor pertanian khususnya lahan (land based economy) telah mencapai fase pertumbuhan dengan kecepatan yang semakin menurun (decreasing rate of growth). Jelas bahwa sektor ini meragakan tingkat efisiensi penggunaan input khususnya input tenaga kerja yang rendah dibanding sektor-sektor lainnya.
Secara agregat dapat dikatakan bahwa tingkat kompetisi di sektor pertanian lahan ini sudah semakin tinggi, walaupun secara parsial masih ditemukan sebaran tenaga kerja yang tidak merata antar wilayah. Demikian tingginya tingkat kompetisi di sektor pertanian lahan ini menyebabkan sebagian tenaga kerja harus “terdepak” ke luar sektor ini yang ditandai dari semakin menurunnya besaran persentase tenaga kerja yang bekerja di sektor ini dari waktu ke waktu. Secara struktur kita juga mengharapkan adanya penurunan jumlah tampungan tenaga kerja di sektor ini untuk kemudian diikuti oleh kenaikan proporsi tenaga kerja yang bekerja di sektor sekunder (industri). Penurunan proporsi tampung tenaga kerja oleh sektor pertanian diharapkan akan kembali memacu produktivitas per kaputa. Tapi sayangnya, pergerakan keluar sejumlah tenaga kerja dari sektor pertanian lahan ini bukan merupakan suatu hasil dari program perencanaan pengembangan tenaga kerja yang mantap dalam upaya mempersiapkan tenaga kerja yang siap memasuki sektor sekunder atau sektor tersier dengan skill yang memadai. Atau setidaknya dapat mempersiapkan tenaga kerja yang sebagian besar menumpuk di sektor pertanian lahan ini, untuk mampu memanfaatkan sumberdaya non-lahan lainnya seperti laut dan pesisir yang belum dikelola secara optimal, atau kegiatan off-farm yang belum banyak mendapat sentuhan kebijakan.
Jadi sebenarnya pergerakan keluar sejumlah tenaga kerja dari sektor pertanian lahan ke sektor sekunder dan/atau jasa khususnya di perkotaan hanya soal justifikasi persaingan pasar yang terjadi antar sektor, tanpa adanya campur tangan kebijakan pemerintah yang proporsional dan terarah. Akibatnya, keluarnya sejumlah tenaga kerja dari sektor pertanian lahan ini hanya meragakan suatu pergeseran situasi marginal dari sektor pertanian lahan ke sektor lainnya. Tapi kemiskinan tetap saja mengikuti mereka ke mana pun perginya. Karena pada prinsipnya mereka keluar dengan skill seadanya, sehingga tidak juga mampu untuk bersaing di sektor non-pertanian lahan, khususnya sektor industri yang membutuhkan kualifikasi skill yang tinggi. (Cari data proporsi tenaga kerja menurut sektor secara nasiopnal)
Referensi:
Pengutipan:
Benu, F.L. (2010) Mengapa ternjadi fenomena “loncatan” tenaga kerja muda dari sektor pertanian berbasis lahan ke sektor informal perkotaan dalam 10 tahun terakhir? Dialektika Lahan Kering. Diakses pada (isi tanggal, bulan, tahun) dari: www.drylandcare.blogspot.com.
; 0 komentar:
Post a Comment
Silahkan memberikan komnetar maupun masukan untuk memperbaiki tayangan blog ini pada waktu-waktu mendatang